Terkungkung Dalam Indahnya Sebuah “Kualitas”

Ketika frasa kualitas di atas kuantitas tak lagi selalu saya benarkan

Nanda
4 min readJan 18, 2021
Photo by Leonardo Yip on Unsplash

Tahun telah berganti, tapi rasanya banyak kesal dan sesal yang masih sempat menggerogoti hati. Tak apa, semoga di tahun yang baru ini, kita dapat terus beradaptasi dan menjadi lebih baik lagi.

Openingnya bagus. Hehe

Hai semua,

Hari ini gue mau sikit-sikit lah bercerita. Mungkin kurang lengkap ya rasanya ketika awal pergantian tahun belum melakukan yang namanya refleksi, tapi bukan pijat, yang tujuannya untuk merenungkan apa sih kurangnya diri kita dan apa sih yang kiranya bisa dipertahankan atau diperbaiki dari tahun sebelumnya.

Kalau anak gaul sih bilangnya “new year resolution check!” huek *emoji muntah.

Gue pada awalnya sama sekali enggak mau melakukan refleksi, tentu bukan pijat lagi, karena banyak rencana di tahun sebelumnya tuh belum atau bahkan tidak tercapai. Kurang lebihnya sih gue merasa bahwa apa yang seharusnya bisa dilakukan di tahun kemarin masih bisa nih untuk diterapkan di tahun ini. Kayaknya enggak perlu-perlu banget deh.

Tapi karena berhubung vibes-nya masih happy new year-an gini ye kan, gapapa deh refleksi juga.

HEHE

Merefleksikan Refleksi

Daripada merancang semuanya dari nol lagi, akhirnya gue memutuskan untuk merefleksikan hasil refleksi yang sudah gue buat di tahun sebelumnya untuk melihat ada enggak sih yang masih bisa dikejar lagi dan ada enggak sih yang bisa ditingkatkan lagi, gitu-gitu lah ya pokoknya.

Mulai dari akademis, pengembangan diri dan karir, jejaring sosial, pengelolaan uang jajan (kalo sebut keuangan atau ekonomi kok rasanya berat banget), dan lain-lain sedikit-banyaknya harus punya rencana dan targetnya masing-masing.

Senang enggak sih rasanya bisa mencapai sukses dan bertumbuh dari serangkaian milestone yang telah kita rancang di setiap awal tahun? Pasti lah ya.

Tapi…

Menemukan Keganjilan

Lambat laun gue mulai menyadari bahwa sampai saat ini target demi target yang gue buat ternyata hanya berdiri sebagai arah tujuan saja, namun gue sendiri belum benar-benar tiba dan ada di sana atau masih sepertiga atau bahkan seperlima perjalanan menuju ke sana.

Setelah gue merefleksi lebih jauh lagi, ternyata banyak target yang selama ini hanya gue bayangkan kesuksesannya saja tanpa betul-betul mengupayakan kesuksesan dari target itu dengan sungguh.

Apa penyebabnya?

Pemikiran Perfeksionis

Photo by Shauna Springer on Minds Matter Magazine

Gue senang menulis dan ingin menjadi seorang penulis yang baik, dalam arti mampu menciptakan tulisan dengan pesan mendalam, disukai banyak orang, konsisten, dan lain sebagainya. Tapi realitanya, gue terkesan hanya ingin saja tanpa berusaha keras untuk menjadi seorang penulis yang baik.

Rasa ingin yang gue miliki ini ternyata menempatkan diri gue pada ekspektasi tertinggi dari suatu hasil.

Maksudnya gini,

Ketika gue sedang menulis dan merasa apa yang gue tulis tidak layak untuk dikatakan ke dalam sebuah tulisan yang baik, gue mengurungkan niat untuk melanjutkan tulisan itu.

Dalam teknisnya pun banyak ketentuan yang harus semuanya dalam kondisi baik, mulai dari mood, suasana, media tulis, dan lain-lain. Kalau tidak begitu, enggak ada keinginan untuk menulis sama sekali.

Seiring berjalannya waktu dan gue hanya berfokus kepada dua permasalahan itu, pada akhirnya gue enggak menghasilkan tulisan sama sekali. Tingginya standar yang terpetakan oleh otak gue membuat gue justru sulit untuk menulis.

Melalui refleksi ini, gue mulai menyadari bahwa dalam pengejaran suatu target, gue masih tergolong perfeksionis.

Pernyataan Stephen Guise melalui buku karangannya jadi berjudul “How To Be An Imperfectionist” membenarkan hal tersebut. Ia menuliskan bahwa,

“Perfectionists do not accept a small amount of value or progress; they only want big, smooth, perfect wins.”

Then, Yes I do.

Kalau ditanya gue mau jadi penulis yang baik atau enggak, jawabannya tentu mau.

Tapi kalau ditanya seberapa sering gue menulis, jawabannya pasti “hehehe” sambil menggaruk-garuk kepala.

Dimulai Dari Kuantitas

Photo by Charity Navigator

Terlihat di sini bahwa gue terlalu mendambakan sebuah kualitas, padahal tanpa gue sadari dan banyak kasus di lua sana yang memperlihatkan bahwa kualitas akan tumbuh seiring dengan banyaknya kuantitas. Di sini gue mulai merasa ada sedikit ketidaksetujuan dengan frasa kualitas di atas kuantitas, utamanya kalau berbicara soal mengejar mimpi.

Mungkin dalam percintaan, kualitas kencan lebih penting dari kuantitasnya. Dalam mempromosikan produk, kualitas barang juga lebih penting dari kuantitasnya. Tapi gue merasa untuk menggapai suatu mimpi, agaknya seberapa banyak kita mengejar harus didahulukan daripada kualitas pengejaran kita.

Boleh jadi gue salah, karena antara kualitas dan kuantitas saling terkait dan sama pentingnya. Tapi, gue merasa bahwa sebelum kita mengutamakan kualitas tentu ada kuantitas yang harus dibayarkan.

Hal tersebut sejalan dengan suatu pernyataan dalam buku “The Compound Effect” karya Derren Hardy yang menitikberatkan pada usaha kecil insignifikan yang dilakukan secara konsisten seiring berjalannya waktu akan menghasilkan perubahan yang luar biasa, atau dalam persamaannya Ia merumuskan,

Small & Smart Choices + Consistency + Time = Radical Difference

Enggak masalah sebenarnya untuk kita memulai dari yang kecil dan penuh dengan kesalahan, asal gigih dan tetap terjaga semangat belajarnya.

Jadi gitu, ngerti gak?! *memarahi diri sendiri.

Lesson Learned

Jadi, ujung dari refleksi yang gue lakukan banyak menghadirkan perspektif baru untuk gue sendiri. Bahwa kalau berbicara tentang belajar atau mengejar suatu mimpi, agaknya kurang tepat ya kalau kita berbicara perihal kualitas terlebih dahulu.

Justru dimulai dari kuantitas itulah dengan perlahan akan tercipta kualitas-kualitas di dalamnya.

Perbanyak juga eksekusi dan teruslah tumbuh melalui proses serta kegagalan-kegagalan di dalamnya. Karena gue yakin kalian semua bisa menjadi apa yang kalian inginkan, asal gigih memperjuangkannya.

Loh kok jadi kasih motivasi?

Intinya, mulai dari sekarang, atas setiap target, keinginan, atau cita-cita besar yang kita ingin gapai, utamakan terlebih dahulu kuantitasnya baru kualitasnya.

Betul enggak tuh, geng?

--

--

Nanda

A social-introvert and homebody who likes to share story.