Merangkul ‘Si Buruk’

Sudahkah kamu?

Nanda
7 min readJul 6, 2021
Photo by Engin Akyurt on Unsplash

Hai-hai, salam rahayu untuk para pembaca di rumah, semoga sehat selalu, ya!. Seneng banget akhirnya bisa meluangkan waktu lagi untuk cerita di blog yang update-nya masih nggak konsisten ini, setelah beberapa bulan terakhir fokus menyelesaikan tugas skriasdfghjklpsi alias tugas yang paling 🤮🤮🤮 selama kuliah.

Ngomong-ngomong soal skriasdfghjklpsi, selama proses penggarapannya gue mengalami cukup banyak dinamika yang mana sering kali membuat kondisi emosional gue naik-turun, zig-zag, dan melingkar-lingkar.

Ah, lebay deh males 🙄

Ya intinya, kalau berhasil melakukan suatu proses, senang-sumringahnya bukan main. Bak mendengar suara “paketttt” dari halaman depan rumah.

Tapi, kalau gagal atau terhambat (dan ini yang paling sering terjadi 🙄), entah kenapa memandangi kucuran keran air di kamar mandi dan menatap langit-langit kost selalu jadi aktivitas utama yang otomatis dilakukan, sembari meratap dan juga berharap.

Terlepas dari segala lika dan likunya, gue merasa banyak dapet pelajaran berharga, yang salah satunya akan gue coba bahas kali ini karena pengaruhnya yang cukup signifikan.

Jadi, secara garis besar gue mau coba bahas tentang sisi buruk yang ada di dalam diri kita.

Hah?

Apa maksudnya? Apa hubungannya? Kok jadi tiba-tiba sisi buruk?

Dalam pengerjaan skriasdfghjklpsi ini tadi kan gue bilang kalau di dalamnya tuh ada segelintir kegagalan yang gue temui. Nah, setelah gue telusuri lebih dalam ternyata ada sisi buruk di dalam diri gue ini yang terlihat cukup berkontribusi atas terjadinya musibah tersebut.

Setelah tau penyebabnya, gue mulai menyadari eksistensi dari sisi buruk ini di dalam diri gue. Membuat gue jadi sedikitnya dapat mulai menaruh kendali, saat sisi tersebut berpotensi untuk muncul ke permukaan.

Sederhananya, ketika gue memahami bahwa suatu kondisi tertentu akan memicu sisi buruk tersebut keluar, gue jadi lebih peka dan dapat memprediksi atau mengantisipasi dampaknya, sehingga mungkin suatu permasalahan tidak akan terjadi atau dapat diminimalisir.

Atau lebih sederhananya lagi, sisi buruk di dalam diri gue sebelumnya hanya mengenal rambu lampu hijau. Sekarang, dia jadi punya lampu kuning dan lampu merah setelah sisi tersebut gue sadari dan terima.

Bingung? Oke, sama.

Tapi nggak apa, kita jalanin dulu aja. Cihuy!

Apa sih basi banget….. 🙄

Apa sih emangnya ‘sisi buruk’ itu?

Sebelum kita melangkah bersama lebih jauh lagi, asek, gue coba ulas dikit dulu kali ya apa yang dimaksud dengan sisi buruk ini.

Secara konsep, sisi buruk atau yang biasa disebut dengan shadow-self merupakan manifestasi jiwa di alam bawah sadar yang tidak kita ingingkan atau tunjukkan, tetapi keberadaannya melekat dan memengaruhi pemikiran serta perilaku kita [1]. Sedangkan kebalikannya, yaitu persona, merupakan representasi diri yang kita ingin perlihatkan kepada dunia [2].

Dari kenampakannya saja hal tersebut ada di alam bawah sadar kita, yang mana mungkin membuat kita jadi sulit untuk mengenalinya. Tapi, setelah gue alami sendiri, gue dapat menyimpulkan bahwa mengenali dan menerima sisi buruk ini sangatlah penting. Karena dari sanalah gue dapat semakin mengenali diri gue dan semakin tumbuh darinya.

Kalau dari temen-temen sendiri nih, mulai ngerasa nggak sih punya atau kenal sisi buruk sendiri?

Kapan emangnya dia muncul?

Sisi buruk seseorang dapat muncul yang kemudian dapat dikenali ketika mereka berada dalam kondisi penuh tekanan, konflik, musibah, atau bahkan dalam kondisi yang menyenangkan sekali pun [3].

Mumpung masih anget nih, gue coba elaborasikan dari apa yang gue alami aja ya.

Dalam proses pengerjaan skriasdfghjklpsi kemarin, gue telah dipertemukan oleh sifat yang terlalu mudah merasa di atas angin. Gampangnya, gue tuh ternyata cepet banget merasa jadi orang yang paling serba tau ketika gue baru aja berhasil menemukan, memahami, atau menguak secuil informasi.

Itu sering terjadi ketika gue sedang berada dalam kondisi mandek atau frustasi, kemudian menemukan kumpulan informasi yang coba gue formulasikan sendiri dan berhasil menjadi sesuatu yang akhirnya dapat gue pahami. Di momen itu pastinya seneng banget dong, kayak berhasil menyusun puzzle yang teramat rumit setelah bergelut selama berjam-jam atau berhari-hari lamanya.

Setelah merasa paham betul, gue jadi seakan-akan menutup diri dari informasi lain. Karena gue mengganggap ya apa yang gue temukan dan pahami itu sudah benar.

Bahkan, gue sampai abai untuk berdiskusi dengan pembimbing karena ya gue udah kayak merasa tau segalanya gitu kan.

Sampai pada akhirnya, saat gue merasa sudah yakin betul dan butuh adanya crosscheck dari pembimbing, barulah gue mengajukan diskusi. Ternyata oh ternyata, saat diskusi berlangsung, apa yang selama ini gue pahami dan yakini benar dapat dengan mudah ditumbangkan oleh pembimbing gue.

Hasilnya?

Hampir separuh hasil pekerjaan yang gue telah selesaikan harus diproses ulang.

Serius deh, gue yang tadinya benar-benar merasa di atas angin, seketika merasa jatuh sejatuh-jatuhnya. Kebayang nggak sih, gue tuh betulan udah merasa yakin dan untuk sampai di titik itu juga penuh perjuangan banget juga kan. Tapi, HAHAHAHA ternyata itu semua hanyalah sebatas Ilusi Demian 😅🙄

Gue masih inget betul loh apa yang beliau sampaikan. Begini kira-kira…

“Yang kamu kerjain ini mah kayak nggak ada effortnya”

“Nggak bisa seperti itu, dong. Alur berpikir kamu masih ngaco berarti kalo begitu”

Sebenarnya sih nada bicara beliau nggak semenyeramkan ketika dibaca seperti ini ya, tapi kan tetep aja mengoyak-ngoyak seisi hati gue 💔

Arghhhhh, bete banget pokoknya! 😤😠

Pasca bimbingan pun, gue langsung disambut oleh langit-langit kost yang udah stand by gitu kayak memaksa gue untuk menatapnya kembali alias saatnya memasuki Waktu Indonesia Bagian Overthinking.

“Sini sini… kusut banget nih abang keliatannya…ada apa bang ada apaa?? pusing lagi ya? sini cerita sini cerita” ucap langit-langit kost.

Dari kejadian itu gue mulai telusuri ulang tuh kenapa sih ini semua bisa sampai terjadi. Kayak kenapa gitu harus ulang proses lagi. Itu kan memakan waktu dan energi banget, sementara waktu pengumpulan juga semakin dekat kan.

Ternyata benar nih, sifat sok tau dan cepat merasa di atas angin yang awalnya belum gue sadari ini ternyata yang jadi dalangnya. Langsung kebawa lagi tuh ke belakang, kayak ya harusnya kalo gue gini nggak bakal deh tuh gini gini gini.

Saling berdebat deh tuh pikiran-pikiran di kepala gue.

Intinya, gue mulai sadar kalau sifat ini nggak menguntungkan banget lah buat gue 😭

Karena masih belum yakin, gue coba telusuri lagi tuh semakin ke belakang kira-kira ada nggak hal serupa yang terjadi karena sifat itu? Dan ternyata memang sering terjadi, namun belum ada yang dampaknya sebesar ini.

Akhirnya, gue baru bisa menyadari bahwa memang gue mempunyai sifat itu dan gue menerimanya. Yang mana ini akan jadi bekal yang sangat baik kalau-kalau di masa mendatang gue hendak mengerjakan sesuatu.

Harus lebih berhati-hati, jangan ragu untuk berdiskusi, dan coba selalu memegang teguh prinsip padi.

Terus, ada satu lagi nih sisi buruk yang telah gue sadari dan terima sejak lama, yaitu sisi pemarah gue yang tidak terkendali.

Dulu, tiap kali gue marah pasti suka banget membentak, banting barang, atau bahkan memukul.

Mirip banget Naruto lah pas dia belum bisa mengendalikan siluman musang di dalam dirinya. Rawrrr! 😽

Gue baru sadar sisi buruk itu di kelas 2 SMA. Sebelum-sebelumnya mah nggak kerasa aja kalau itu ternyata buruk. Gue merasanya itu normal dan memang harus dilakukan ketika gue sedang marah. Tapi, ternyata setelah melihat respon dan dampak orang di sekitar, gue mulai tergerak untuk merenunginya. Yang membuat gue tersadar bahwa itu merupakan sisi buruk dalam diri gue, yaitu teguran nyokap dan ungkapan seorang teman yang mungkin merasa dirinya tersakiti.

“Kamu tuh kalau lagi marah kayak setan, beneran deh.”

“Kok lo kasar banget sih jadi orang”

Sedih dong gue dapat respon seperti itu. Apalagi kalau di kilas balik, banyak banget rasa malu yang harus ditanggung nyokap akibat perilaku marah gue itu. Terus, melihat seorang teman menaruh benci kepada gue juga nggak enak banget kan.

Padahal kalau saat itu gue boleh membela, ya luapan amarah gue pada saat itu pasti ada penyebabnya. Tapi, setelah gue menyadari dan menerima kehadiran sisi buruk tersebut, akhirnya gue sampai sekarang merasa sudah cukup baik dalam mengelola emosi atau marah yang gue rasakan.

Tiap kali gue dapat pemicu untuk marah, seketika pikiran gue mengajak gue untuk memundurkan sedikit langkah untuk menimbang-nimbang atau memikirkan suatu kejadian dalam sekup yang lebih besar lagi. Sehingga, pemikiran dan tindakan yang rasional lah yang justru akan selalu muncul.

Terus harus diapain nih kalo udah ketemu?

Kayak kawan baru aja. Ajak kenalan, ngobrol, ngopi-ngopi cantik, terus suruh checkout-in keranjang Shopee deh.

Ya, nggaklah 🙄

Tapi boleh sih kalau bisa. Hehe 👻

Yang pasti jangan denial, sadari dan terima kalau memang sisi itu ada di dalam diri kita.

Dalam proses mengenali sisi buruk ini kita perlu yang namanya kepekaan diri juga observasi atas diri kita sendiri dan apa yang telah terjadi serta bagaimana dampaknya.

Terus, mulai pelan-pelan menaruh kendali setiap kali ada pemicu yang memancing sisi buruk tersebut keluar dengan mempertimbangkan kejadian masa lalu atau pelajaran berharga yang telah kita dapatkan.

Kita mungkin nggak bisa menghilangkan sisi buruk yang ada. Kayak gue yakin akan tetap ada sisi gue yang ‘sok tau’ dan sisi gue yang ‘pemarah banget’ di kemudian hari. Tapi, menyadari dan menerima sisi buruk tersebut sangat membantu gue dalam memberi kendali diri dan mengeluarkan reaksi terhadapnya.

Memang sisi buruk yang ada dalam diri kita terlihat menakutkan di kemunculannya. Tapi, poin utamanya terletak pada bagaimana cara kita untuk dapat menyadari, menerima, dan merasakan sisi buruk yang ada [4].

Karena sebenarnya proses memahami sisi buruk ini lebih menekankan untuk membuat alam bawah sadar kita menjadi sadar.

Dalam perspektif yang berbeda, sisi buruk ini ternyata juga dapat menjadi sumber kebijaksanaan, kekuatan, dan inspirasi luar biasa [5] yang mana ketika kita menerimanya, kita secara tidak langsung dapat semakin memahami diri sendiri dan bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih berbahagia.

Dengan mengetahui sisi iri berlebihan kita, kita dapat menyadari bahwa terlalu banyak waktu dan energi yang terbuang percuma yang mana dapat kita konversikan sebagai pembangkit semangat kita untuk melakukan sesuatu yang lebih besar.

Atau dengan mengetahui sisi egois kita, kita dapat menyadari mungkin ada hal yang tidak selalu harus kita dapatkan atau memang jauh dibutuhkan oleh orang lain.

Sampai pada akhirnya gue dapat menyimpulkan bahwa,

Semakin cepat kita bertemu dengan sisi buruk yang ada dalam diri kita, kemudian menyadari lalu menerimanya, maka semakin cepat juga kita untuk merasa lebih baik dan berdamai atas diri kita sendiri.

Jadi,

Sudah siap untuk bertemu dan merangkul si buruk dalam diri kalian? 🤗😇

P.S: Karena hanya berbasis pengalaman pribadi dan secuil informasi dari beberapa artikel populer, gue merasa masih minim pemahaman dan perlu untuk mempelajari lagi dalam hal keilmuan yang mendasarinya. Tapi, semoga pesan baiknya sampai. Kalau-kalau ada kekeliruan atau kesalahan dalam informasi yang gue sampaikan, yuk kita diskusikan 😋 🙌

--

--

Nanda

A social-introvert and homebody who likes to share story.