Kreatif: Kere Tapi Aktif

Sebuah mindset kecil saya untuk melampaui berbagai limitasi.

Nanda
6 min readAug 13, 2020
Photo by Kat Yukawa on Unsplash

Seberapa seringkah usaha dan harapan kita tersendat atau bahkan pupus dikarenakan sebuah limitasi? Tentu sering, bukan?. Limitasi selalu menjadi momok yang menakutkan tiap kali kita sedang dan atau ingin melakukan sesuatu.

Misalnya, ingin membuat A namun meterialnya sulit ditemukan. Ingin melakukan B namun belum punya kecakapan. Ingin menjadi C namun sulit perihal keuangan. Terlalu banyak kata namun, yang pada akhirnya hanya membuat kita tertegun melamun.

Sungguh menyebalkan, hingga saya sangat membenci sebuah keterbatasan.

Tapi tunggu,

Entah mengapa saya merasa seperti ada yang janggal. Sejenak pun saya berfikir dengan dalam, hingga tercetuslah beberapa pertanyaan,

“Mengapa saya harus terhenti tiap kali ada limitasi? Akankah saya selalu dikalahkan oleh keterbatasan? Dan, mampukah saya terlepas dan terus melangkah?”

Karenanya, saya tergerak untuk mencoba melakukan sedikit ‘perlawanan’ terhadap suatu keterbatasan. Celetukan kecil seperti “masa sih saya tidak bisa” selalu membakar bara di hati saya.

Saya pun akhirnya mulai menerima berbagai limitasi dan mengganggapnya sebagai pengingat, bahwa hidup tidak melulu mudah, dan akan selalu banyak cara untuk menyelesaikannya. Saya juga mempercayai bahwa limitasi akan selalu ada, namun semua bertumpu pada kita yang harus mampu menaklukan dan hidup di atasnya.

Filosofi Kere Tapi Aktif

Upaya saya dalam melawan berbagai limitasi, tertuang melalui sebuah mindset yang disebut Kreatif atau Kere tapi Aktif.

Menurut KBBI, Kere berarti keadaan miskin, melarat perihal materi. Sedangkan Aktif berarti keadaan dinamis atau bertenaga. Dalam hal ini saya menganalogikan Kere sebagai kondisi di mana saya tidak mampu melakukan sesuatu atau kondisi dengan berbagai kekurangan, seperti kere pengetahuan, kere kompetensi, dan lain sebagainya. Lalu, kata Aktif saya gunakan sebagai kondisi atau upaya yang mengharuskan saya untuk mengakali kekurangan — kekurangan yang ada.

Bila dipadu padankan menjadi,

Segala bentuk tindakan yang harus dilakukan untuk keluar dari limitasi yang sedang dialami.

Jujur, pada awalnya mindset ini lahir ketika saya bersama beberapa rekan berkesempatan mengunjungi suatu tempat makan mewah dalam rangka perayaan ulang tahun, yang nampaknya ‘tidak ramah’ untuk kantong saya.

Photo by Zuerich

Karena tidak ingin minder dan terlihat ‘norak’ atau ‘ketinggalan jaman’, saya melakukan banyak survei daring perihal tempat, menu yang tersedia, hingga kebiasaan dan cara makan di sana. Bahkan, saya sampai menonton tayangan di youtube yang mengulas berbagai makanan yang ada pada tempat tersebut.

Setelah melakukan survei dan mempelajari banyak hal hanya untuk sebuah proses makan, akhirnya, saat acara berlangsung saya dapat tampil seperti orang yang sudah terbiasa. Saya benar — benar merasa gaul dan tidak ketinggalan jaman dalam sesaat. Nampak hebat, kan?

Setelah dilihat — lihat, saya memang betul — betul kere ya.

Semenjak saat itu saya merasa bahwa pemikiran ‘kreatif’ ini sepertinya bisa saya terapkan dalam berbagai permasalahan, bahwa saya tidak perlu takut akan sebuah limitasi, selagi saya mau berfikir lebih untuk melakukan adaptasi.

Serupa dengan konsep growth mindset ala Carol Dweck dan konsep grit oleh Angela Duckworth, yang saya ingin lakukan dengan konsep ‘kreatif’ ini ialah tetap bertumbuh serta bertahan dalam menghadapi berbagai kesulitan.

Lalu, bagaimana mindset tersebut berdampak pada saya?

Mencoba dan terus mencoba hingga akhirnya bisa

Sedari dulu, bahkan mungkin hingga sekarang, saya masih menyimpan ketakutan besar ketika melakukan suatu hal yang mengharuskan saya untuk berbicara di depan banyak orang. Gugup dan gemetar pasti saya rasakan bila berada dalam kondisi seperti demikian. Meski sadar dan menerima kekurangan itu, namun tak lantas membuat saya diam begitu saja.

Saya memulainya dengan membeli suatu buku tentang kecakapan berbicara, saya juga banyak menonton tayangan baik acara tv dan internet yang berkenaan dengan pembawaan suatu materi. Memperhatikan baik — baik dan mencatat hal yang patut diteladani cukup membantu saya untuk mempelajarinya.

Pada suatu kesempatan pun, saya memberanikan diri untuk mengikuti kegiatan orientasi mahasiswa baru sebagai orator. Jujur, bukan ingin dikenal atau dikagumi, saya hanya ingin menikmati proses belajarnya. Meski sangat jauh baiknya bila dibandingkan dengan orasi Soekarno ataupun Bung Tomo, tetapi alangkah bangganya menyaksikan sendiri bahwa saya hari ini dapat menjadi lebih baik dari saya kemarin.

Orasi kepada mahasiswa baru

Saya terus mendorong diri saya agar dapat rileks berbicara di depan orang banyak, karena di berbagai waktu, kesempatan berbicara di depan orang banyak akan selalu ada seperti diskusi kelompok, rapat kerja, hingga konferensi. Dari yang awalnya masih sangat mengandalkan dan menghafalkan skrip sebelum melakukan presentasi, hingga hanya menggunakan poin singkat untuk kemudian dikembangkan.

Terancam bukan berarti gagal, namun harus tetap diupayakan

Masih teringat betul ketika saya hampir tidak lulus pada suatu mata kuliah. Pertama, memang materinya sulit untuk saya dan kedua, secara pribadi saya merasa pengampu mata kuliah tersebut kurang membuat saya mengerti.

Kuis yang saya hasilkan pun banyak yang bernilai 40, dan ujian tengah semester hanya berjarak 18 poin dengan nilai — nilai kuis yang saya dapatkan. Dengan segala perhitungan, saya diprediksi tidak lulus bila ujian akhir yang saya peroleh nanti tidak mengalami peningkatkan. Tentu saya takut, namun saya harus bisa mengonversi ketakutan tersebut menjadi sebuah aksi nyata.

Hal pertama yang dilakukan yaitu mengevaluasi cara saya belajar dan menelusuri materi apa saja yang masih sulit diterima. Dengan segala paksaan diri, saya mempelajari materi tersebut satu per-satu dengan pelan dan perlahan. Mengerjakan kembali kuis yang menyebabkan tegasnya nilai 40 yang saya dapatkan hingga menonton video tutor yang bertebaran di internet pun saya lakukan.

Buntu, lesu, dan bisu hanya membuat saya dan paham tak kunjung bertemu.

Menghubungi beberapa teman saya rasa akan dapat membantu dan di sisa waktu perkuliahan yang ada, saya terus belajar dan berlatih soal — soal latihan.

Sebuah perjuangan

Hingga waktu ujian tiba, saya masih diselimuti oleh ketakutan, namun sedikitnya siap bertempur dan melakukan yang terbaik. Setelahnya, saya merasa lega karena dapat mengerjakan apa yang sebelumnya saya tidak bisa. Meski tidak terlalu memuaskan, namun saya tetap bangga dapat mengerjakannya dan terhindar dari seramnya ketidaklulusan.

Tetap dapat berakselerasi meski dengan materi seadanya

Di masa pandemi ini kegiatan perkuliahan terpaksa berubah teknis menjadi daring. Tentu diperlukan berbagai fasilitas yang baik agar perkuliahan berjalan dengan lancar. Awalnya, saya merasa akan sangat kesulitan mengingat gawai yang saya punya tergolong ‘kuno’ dan memiliki beberapa kecacatan.

Laptop yang telah berusia 8 tahun ini kondisinya cukup merepotkan karena harus selalu tersambung dengan listrik dan jelas tak berkutik semisal listrik di rumah menjadi padam.

Tidak memiliki fitur kamera web, rusaknya perangkat suara, rendahnya kapasitas memori, hingga papan ketik ‘ajaib’ (menekan huruf a namun keluarannya huruf m, tombol spasi, backspace, dan enter yang tidak berfungsi) benar — benar menyusahkan saya ketika menghadapi situasi daring seperti ini.

Minimnya uang yang saya miliki menjadi batasan bila saya ingin benar — benar memperbaiki laptop itu.

Dengan segala pertimbangan dan tanpa berfikir panjang, saya menginvestasikan semua uang yang tersisa saat itu untuk membeli berbagai keperluan penunjang kuliah daring. Terasa sangat merepotkan bila harus melihat banyak kabel — kabel terpasang di laptop saya, namun tidak menjadi masalah karena yang terpenting saya dapat berkuliah dengan lancar dan semangat.

Banyak cacat namun tak lagi tersendat

Meski hanya ditunggangi oleh laptop ‘kuno’, saya tetap mengerjakan tugas, mengikuti perkuliahan, dan melakukan aktivitas lain dengan serius dan sebaik — baiknya. Saya yakin dapat tetap berakselerasi walau dengan alat rendah spefisikasi. Karena saya percaya bahwa,

“It’s not about the gun, but who’s the man behind the gun”.

Jadilah Kere yang Aktif

Berkat mindset ‘kreatif’ ini saya semakin yakin dengan ungkapan

“Where there’s a will, there’s a way”

Banyaknya rintang kehidupan, tentu dapat diselesaikan ketika kita teguh mengupayakan.

Pesan saya,

Jadilah Kere yang Aktif, karena kebodohanmu tidak akan selesai jika tidak diberantaskan.

Jadilah Kere yang Aktif, karena ketidakmampuanmu tidak akan selesai jika hanya diratapkan.

Jadilah Kere yang Aktif, karena dibalik kekuranganmu selalu ada kelebihan yang dapat diciptakan.

Maka,

Jadilah Kere yang Aktif.

--

--

Nanda

A social-introvert and homebody who likes to share story.